Nabi Ibrahim tidak pernah menyembah Bintang
Dr. Sarah binti Farraj Al ‘Aqla :
Nabi Ibrahim termasuk sosok yang diakui oleh banyak agama. Sebab kebanyakan manusia merupakan keturunannya. Seperti bangsa Yahudi, Nashara dan bangsa Arab yang notabene berbuat syirik. Oleh karena itu, banyak didapati di Al Qur’an yang mengangkat kehidupan Nabi Ibrahim dalam membantah mereka, yang telah mengalami penyimpangan dari ajaran yang murni.
Dalam surat Al An’am sendiri, terdapat satu contoh penjelasan tentang cara Nabi Ibrahim عليه السلام mematahkan argumentasi kaum yang menyembah bintang, matahari dan benda langit lainnya.
Allah memulainya dengan firmanNya:
۞ وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. (QS Al An’am : 74)
Ayat di atas memberitakan, bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام mengingkari penyembahan berhala yang dilakukan ayahandanya sendiri, yaitu sebuah patung yang mempunyai rupa. Dia menyebutkan, tindakan ayahnya itu merupakan perbuatan orang-orang yang sesat, tidak mendapatkan hidayah dalam perjalanan hidupnya. Mereka sebenarnya berada dalamkebingungan, kegelapan ilmu dan kesesatan yang nyata; yang dapat diketahui oleh siapa saja yang mempunyai akal sehat. Sebab mereka telah menyembah sesembahan yang tidak berhak meraih sedikit pun penyembahan. Mereka meninggalkan penyembahan kepada Sang Pencipta, Dzat yang memberi rezeki dan mengatur kehidupan mereka. 1
Para ulama memperselisihkan nama ayahnya. Sebagian ulama mengatakan, nama ayah Nabi Ibrahim عليه السلام sebenarnya adalah Tarih. Nama inilah yang termaktub dalam Taurat.
Al Farra‘ mengatakan : “Para ahli nasab sepakat, ia (Nabi Ibrahim) adalah anak dari Tarih”.2 Menurut pendapat ini, Azar, kalau bukan gelar untuk sang ayah, maka ia merupakan nama berhala yang dinisbatkan kepada nama ayah Nabi Ibrahim, lantaran tingginya intensitas ayah tersebut dalam beribadah dan menghambakan diri kepadanya.
Dengan mengutip ayat di atas, ada juga para ulama menentukan bahwa Azar adalah nama ayah Nabi Ibrahim. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah As Suddi dan Muhammad bin Ishaq. Pendapat inilah yang kemudian dirajihkan oleh imam ulama tafsir, Ibnu Jarir Ath Thabari. Dia berkata: “Pendapat yang lebih tepat ialah yang menyebutkan bahwa (Azar) itu adalah nama ayahnya. Sebab Allah menyebutkan nama itu sebagai nama ayahnya, dan inilah pendapat yang dikenal luas dengan baik dari keterangan para ulama; berbeda halnya dengan pendapat yang mengatakan Azar adalah sifat buat dirinya. Berkaitan dengan pendapat pertama, Ath Thabari mendudukkan, bisa jadi ayah Nabi Ibrahim mempunyai dua nama, sebagaimana banyak terjadi pada masa kita ini. Dan hal ini, dahulu, banyak terjadi. Bisa juga itu merupakan gelar untuknya”. 3
Al Qurthubi sepakat dengan pendapat Ath Thabari ini dengan menambahkan bantahan terhadap orang yang menyatakan adanya kesepakatan antara ulama nasab yang menyebutkan nama ayah Nabi Ibrahim adalah Tarih. Dia berkata: “Klaim kesepakatan ulama pada masalah tersebut tidak bisa disepakati. Sebab Ibnu Ishaq, Al Kalbi dan Adh Dhahhak berkata, bahwa Azar adalah ayah Nabi Ibrahim. Dia juga dikenal dengan nama Tarih. Sebagaimana terjadi dengan Israil dan Ya’qub. Jadi ia mempunyai dua nama”. 4
Kemudian Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ
Dan demikianlah, Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. (QS Al An’am : 75).
Maknanya, Kami telah memberikan taufik dan Kami perlihatkan kepadanya al bashirah dalam agama dan al haq. Kami juga memberikan hidayah kepadanya melalui kerajaan langit dan bumi yang mengandung bukti-bukti kebesaran, yang mengantarkan kepada pengakuan keesaan Allah سبحانه وتعالى sebagai pemilik alam semesta ini dan penciptaannya. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Tujuannya, agar Ibrahim menjadi manusia yang mengetahui dan meyakininya dengan baik. Sebab keyakinan itu selaras dengan pengetahuan keberadaan bukti-bukti yang menguatkan.
Makna (malakut) adalah kerajaan yang agung dan kekuasaan yang perkasa. Ada juga yang mengartikannya dengan keajaiban dan keindahannya.
Diriwayatkan, bahwa pernah diperlihatkan kepada Nabi Ibrahim keadaan langit, bumi sampai bentuk ‘Arsy dan bumi bagian bawah, sehingga segala sesuatu terlihat olehnya, yang tersembunyi maupun yang tidak. Tidak ada satu pun makhluk yang tidak diketahui olehnya. Tatkala ia mulai melaknati para pelaku dosa, maka Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menyayangi para hambaKu.”
Berkaitan dengan kisah ini, Ibnu Katsir berkata: “Sesungguhnya sanad-sanadnya tidak shahih”.5
Dahulu, Kaum Nabi Ibrahim عليه السلام menyembah bintang-bintang (benda-benda angkasa) dan meyakini ketuhanannya. Mereka disebut bangsa Kaldaniyyun, Kasydaniyyun atau Shabiah Musyrikah. Setiap bintang yang mereka sembah, dibuatkanlah miniatur bintang tersebut dengan bahan yang sudah mereka tentukan sendiri.
Untuk matahari, bahan pembuatan berhalanya adalah emas, (sedangkan) perak untuk bulan. Jadi berhala ini menjadi wakil buat benda-benda langit itu. Tatkala ingin menyembahnya, maka penyembahan mereka diarahkan kepada berhala-berhala itu.
Nabi Ibrahim mengingkari praktek paganisme tersebut. Pertama kali, beliau membantah ayahnya tentang penyembahan kepada berhala. Kemudian beliau menjelaskan, bahwa benda-benda tersebut tidak berhak disembah. Cara pengingkaran yang beliau lakukan ialah melalui perdebatan dan adu argumentasi.
Kemudian Allah berfirman:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ
Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata,”Inilah Rabb-ku,” tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata,”Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” (QS Al An’am:76).
Maksudnya, ketika malam sedang tiba dan menutupi alam semesta, ia melihat bintang (planet) yang terang. Dengan niat untuk mematahkan penyembahan mereka, maka Nabi Ibrahim berkata: “Ini Rabb-ku”. Perbuatan ini dilakukan saat beliau masih dalam masa remaja, pertama kali memasuki usia baligh.
Ucapan beliau tadi bukan ingin memberitakan tentang dirinya, tetapi untuk mengambil pelajaran dari makhluk itu, untuk menyanggah penyembahan (yang ditujukan) kepadanya. Oleh karena itu Allah tidak mencela beliau, justru memuji dan mengagungkannya, serta menjadikannya sebagai orang-orang yang yakin.6
Al Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mayoritas para ulama terkemuka dan ulama tafsir menyatakan, bahwa Nabi Ibrahim mengatakan demikian untuk membuat mereka terdiam dan menjelaskan kesalahan mereka”. 7
Allah berfirman:
فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata,”Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” Qatadah berkata: “Dia mengetahui bahwa Rabbnya abadi, tidak lenyap”.
Di sini, Nabi Ibrahim menyampaikan pesan, sesungguhnya Allah mengawasi para hambaNya setiap waktu. Sedangkan bintang tersebut, bergerak menghilang sementara waktu, dan muncul pada waktu lainnya. Bintang itu tidak mampu mengawasi para makhluk setiap saat. Sehingga terlihat ada aspek kekurangannya. Adapun penguasa alam semesta ini, adalah pencipta langit dan bumi. Sifat kesempurnaan menyatu denganNya.
Allah berfirman:
فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata,”Inilah Rabb-ku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam, dia berkata,”Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
(QS Al An’am : 77).
Tatkala ia melihat bulan yang sedang terbit, maka dengan niat untuk memperdayai kaumnya, Nabi Ibrahim berkata : “Inilah Rabb-ku”. Ketika terbenam, ia berkata sebagaimana difirmankan Allah:
لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ
Sesungguhnya, jika Rabb-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.
(QS Al An’am : 77)
Dia (Ibrahim) memperlihatkan kebutuhannya terhadap hidayah Rabb-nya. Sebab, Nabi Ibrahim tahu, bila tidak meraih hidayah dariNya, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi hidayah baginya. Nabi Ibrahim melontarkannya sebagai cerminan kasih sayang dan peringatan buat kaumnya.
Berikutnya, ia meneruskan usaha mematahkan paganisme yang menglingkupi kaumnya dengan mengomentari penyembahan terhadap matahari. Allah mengisahkan:
فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata,”Inilah Rabb-ku, ini yang lebih besar,” maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata,”Hai, kaumku. Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
(QS Al An’am : 78).
Setelah jelas sifat ketuhanan hilang dari tiga benda antariksa yang merupakan obyek yang paling terang diketahui oleh pandangan, dan itu dikuatkan dengan bukti yang pasti, maka Ibrahim berlepas diri dari obyekobyek yang disembah kaumnya.
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada (Rabb) yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang termasuk mempersekutukan-Nya.
(QS Al An’am : 79).
Nabi Ibrahim benar-benar berlepas diri dari kesyirikan dan hanya tunduk kepada tauhid saja, tanpa mempedulikan kecaman orang lain. Tidak gentar menyuarakan al haq di hadapan penentangan seluruh kaumnya terhadap seruan dan pengingkaran mereka terhadapnya. Dia menegaskan kepada mereka, bahwa beribadah itu menghadapkan wajahnya hanya kepada Pencipta langit dan bumi. Ini sebagai cerminan kewajiban kepada Allah untuk bertauhid, menyambut seruanNya, menolak selainNya, berlepas diri dari kaum musyrikin. Dia bukanlah termasuk dari mereka, dan (ia) tidak beragama dengan agama mereka. 8
Hanya saja, kaum Nabi Ibrahim belum mau tunduk di hadapan al haq, justru mencari argumentasi penguatlain untuk menjustifikasi tindakan mereka dan berusaha mendebat Ibrahim. Allah berfirman:
وَحَاۤجَّهٗ قَوْمُهٗ ۗقَالَ اَتُحَاۤجُّوْۤنِّيْ فِى اللّٰهِ وَقَدْ هَدٰىنِۗ وَلَآ اَخَافُ مَا تُشْرِكُوْنَ بِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ رَبِّيْ شَيْـًٔا ۗوَسِعَ رَبِّيْ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ۗ اَفَلَا تَتَذَكَّرُوْنَ
Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata,”Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kalian persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Rabb-ku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al An’am : 80).
Ibnu ‘Abbas menafsirkan firman Allah اَتُحَاۤجُّوْۤنِّيْ dengan “Apakah kalian mengajakku berseteru tentang Allah”.9
Kaum Nabi Ibrahim mendebat dan berniat beradu argumentasi dengan nabi mereka untuk menggerogoti dakwah tauhid. Tidak hanya itu, mereka juga melontarkan syubhat dan bukti yang menunjukkan bahwa patung-patung yang mereka sembah adalah tuhan yang berhak diibadahi.
Allah menceritakan sanggahan Ibrahim:
اَتُحَاۤجُّوْۤنِّيْ فِى اللّٰهِ وَقَدْ هَدٰىنِۗ
Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku?
Bagaimana bisa kalian mendebatku tentang Allah, padahal Dia telah memberimu bashirah, memberikan hidayah menuju jalan kebenaran, dan sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata. Dia telah memberiku bashirah, hidayah dan aku meyakini kebenaran tumpuan yang aku pijaki. Bagaimana mungkin aku melirik perkataan kalian yang rusak dan syubhat kalian yang batil? 10
Ini untuk menegaskan tentang sikap pengingkaran beliau atas mereka. Lantaran beliau mendapat hidayahdariNya, didukung olehNya, maka tertutup kemungkinan beliau terbungkam dalam perdebatan.
Kaumnya mencoba menakut-nakuti Nabi Ibrahim dari pengaruh buruk para sesembahan tersebut. Namun beliau memberitahukan kepada mereka tentang ketidaktakutannya terhadap sesembahan, ditambah penegasan bahwa makhluk-makhluk itu tidak bisa mendatangkan manfaat maupun madharat. Mengapa harus takut? Justru beliau mengingatkan dirinya kepada Allah, yang jika berkehendak Dia akan memberikan bahaya pada jiwanya, hartanya dengan bahaya yang Ia kehendaki sendiri, tanpa ada pengaruh dari sesembahan-sesembahan itu sedikit pun. Karena Allah Maha Berkuasa untuk melakukannya. Pernyataan ini, merupakan cerminan ketundukan beliau kepada aturan Allah dan penyerahan dirinya kepadaNya, serta pengakuan bahwa dirinya berada di bawah kekuasaanNya. 11
Kemudian beliau menyatakan keheranannya atas sikap mereka yang mencoba menakut-nakutinya dengan berhala-berhala mereka. Sementara itu, sedikitpun mereka tidak menunjukkan rasa takut kepada Allah, Dzat yang menciptakan dan memberi rezeki mereka. Allah berfirman:
وَكَيْفَ اَخَافُ مَآ اَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُوْنَ اَنَّكُمْ اَشْرَكْتُمْ بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ عَلَيْكُمْ سُلْطٰنًا ۗفَاَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ اَحَقُّ بِالْاَمْنِۚ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَۘ
Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. (QS Al An’am : 81).
Mengapa harus ditakuti obyek yang pada dasarnya tidak bisa membahayakan sama sekali. Dan justru kalian tidak merasa takut dengan perbuatan yang paling berbahaya, yaitu kalian mempersekutukan berhala dengan Allah, yang sama sekali bukan padananNya, menyamakan makhluk lemah dengan Dzat Yang Maha Berkuasa. Yang demikian ini seharusnya lebih pantas untuk dikhawatirkan.
Siapakah yang pantas meraih rasa aman, apakah orang yang menyembah Dzat yang dengan tanganNya mampu memberi manfaat dan bahaya, ataukah menyembah obyek yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan madharat apapun? Siapakah yang lebih berhak untuk disiksa, dihukum pada hari Kiamat dan dimurkai Allah di dunia? Allah berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al An’am : 82).
Mereka itu adalah orang-orang yang mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan apapun, tidak mencampuri iman mereka dengan kezhaliman. Mereka itulah orang-orang yang aman pada hari Kiamat kelak, menggenggam hidayahNya di dunia.
Makna kezhaliman dalam ayat itu diperselisihkan. Sebagian ulama menyatakan itu, maknanya adalah perbuatan syirik. Mereka berargumentasi dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya tatkala turun ayat (Al An’am : 82), maka para sahabat saling bertanya “siapakah di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim?”.
Ulama lain menjelaskan, maksudnya adalah, mereka tidak mencampuri keimanan mereka dengan unsur kezhaliman apapun, seperti maksiat. Ayat ini umum, sebab Allah tidak mengkhususkan salah satu dari makna kezhaliman.
Ath Thabari memilih pernyataan yang pertama, demikian juga Ibnu Katsir dan ulama tafsir lainnya.
Ibnu Taimiyyah t telah memaparkan makna kezhaliman, ihtida` dan al amnu. Dalam penjelasannya, beliau membagi kezhaliman menjadi tiga jenis.
- Pertama, kezhaliman yang berbentuk syirik, tidak ada syafaat yang menolong pelakunya.
- Kedua, kezhaliman seseorang kepada orang lain.
- Ketiga, kezhaliman seseorang kepada diri sendiri dengan meninggalkan ketaatan dan maksiat.
Ibnu Taimiyyah t menambahkan, para sahabat merasa sangat gundah, tatkala mereka menyangka bahwa syarat dalam ayat tersebut adalah bebasnya seseorang dari kezhaliman pada diri sendiri, dan menyangka rasa aman dan kemudahan mendapat hidayah tidak terjadi, kecuali bagi orang yang sama sekali tidak pernah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Maka Rasulullah menjelaskan, bahwa syirik adalah perbuatan zhalim yang dimaksud ayat tersebut.
Dari sini, maka kondisi aman hanya akan didapat oleh seseorang yang tidak mencampuri keimanannya dengan kezhaliman jenis ini. Barangsiapa yang tidak mencampuri keimanannya dengan syirik, maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menikmati rasa aman dan meraih hidayah secara mutlak, meski ia tidak terbebas dari kezhaliman yang lain. Berkurangnya rasa aman dan hidayah yang diterima pada diri seseorang, bergantung pada keimanan lantaran kezhalimannya pada diri sendiri. Adapun orang yang bebas dari segala jenis kezhaliman, maka ia akan menggenggam rasa aman dan hidayah yang sempurna.12
Syaikh As Sa’di berkata,”Jika mereka tidak menodai keimanannya dengan kezhaliman secara mutlak, baik dengan syirik atau maksiat, maka ia akan meraih rasa aman dan hidayah yang sempurna. Namun, apabila mereka tidak mencampurinya dengan kesyirikan saja, tetapi mengerjakan perbuatan maksiat, maka ia meraih hidayah dan rasa aman, meski tidak sempurna.”13
Jika ada pertanyaan, orang bermaksiat akan disiksa karena maksiatnya, maka rasa aman dan hidayah apa yang ia dapatkan? Jawaban untuk ini, ia akan selamat dari kekekalan siksa di neraka. Allah telah memberikan petunjukNya menuju jalan lurus yang berakhir di Syurga, ia mengetahui jalan menuju ke sana.
Allah berfirman:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ نَرْفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنْ نَّشَاۤءُۗ اِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
Dan itulah hujjah Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Al An’am : 83).
Kata وَتِلْكَ (itu), kembali kepada segala argumentasi yang dikatakan Ibrahim dari firmanNya فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ sampai firmanNya وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ dengan itu, beliau dapat mematahkan alasan kaumnya dan membungkam mereka. Maka derajatnya Kami angkat di dunia dan akhirat, dan Kami jadikan ia sebagai bagian dari kaum yang shalih.
Allah Maha Bijak dalam firman-firmanNya dan perbuatan-perbuatanNya, Maha Mengetahui orang yang akan diberi hidayah dan orang yang akan disesatkanNya, meski sudah mengetahui bukti dan hujjah yang nyata. Dan Allah Maha Mengetahui tempat meletakkan ilmu dan hikmahNya.14
Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M
*) Diangkat dari Qishshatu Ibrahim Fi Surati Al An’am, Dr. Sarah binti Farraj Al ‘Aqla, yang dimuat dalam Majalah Buhuts Islamiyyah, Edisi 68.
Footnote:
1) Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/155) dan Taisiru Al Karimi Ar Rahman (2/423).
2) Ma’anil Qur‘an, karya Al Farra‘ (1/340).
3) Tafsir Ath Thabari (11/469).
4) Tafsir Al Qurthubi (7/22).
5) Tafsir Ibnu Katsir (2/156).
6) ‘Ishamatul Anbiya`, hlm. 34, Al Milal Wan Nihal (2/53). Lihat juga Tafsir Ath Thabari (11/483, 478), Tafsir Ibnu Katsir (2/155) dll.
7) Asy Syifa‘ (2/260).
8) Lihat Tafsir Ath Thabari (11/487-488), Tafsir Ibnu Katsir (2/156), Tafsir As Sa’di (2/424-425).
9) Tafsir Ibnu Abi Hatim (4/1331).
10) Tafsir Ibnu Katsir (2/157), Fathul Qadir (2/134).
11) Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/157), Tafsir Abu As Su’ud (3/154).
12) Majmu’ Fatawa (7/78,80,81)
13) Tafsir As Sa’di (2/426).
14) Lihat Tafsir Ath Thabari (11/504), Tafsir Ibnu Katsir (2/159).
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/nabi-ibrahim-tidak-pernah-menyembah-bintang/